PENDAHULUAN
Treponema pallidum merupakan bakteri
batang berkuran panjang, ramping, berbentuk lengkung heliks, spiral atau bentuk
alat pembuka tutup botol (corkscrew), bersifat gram negative. Treponema
pallidum mempunyai selubung luar atau lapisan glikosaminoglikan. Di dalam
selubung luar terdapat membrane luar, yang mengandung peptidoglikan dan
yang mempertahankan integritas struktur organisme.
Treponema pallidum merupakan bakteri
berbentuk spiral yang merupakan penyebab penyakit
sifilis. Penyakit ini primer
menyerang manusia dan penularannya terjadi melalui kontak seksual serta
menyebar dari satu manusia ke manusia lain. Di Eropa, lebih dikenal dengan nama
Italian disease, French disease atau the greatpox yang harus dibedakan
dengan smallpox. Menurut John Hunter (1767) dan Ricord (1838), penyakit sifilis
merupakan penyakit yang infeksius.
Sifilis dapat menyerang seluruh organ tubuh.
Perjalanan penyakit dapat mengalami masa laten tanpa manifestasi klinis, dan
menjadi sumber penularan di masyarakat khususnya wanita penjaja seks (WPS). Penyakit ini dapat ditularkan kepada
bayi di dalam kandungan, dan menyebabkan keguguran, kelahiran prematur,
kecacatan, serta lahir mati. Sifilis yang tidak diterapi dapat menjadi sifilis
lanjut, yaitu sifilis tersier benigna (gumma), sifilis kardiovaskuler, dan
neurosifilis. Selain itu sifilis juga dapat menyebabkan terjadinya ulkus yang
meningkatkan risiko penularan human immunodeficiency virus (HIV) sebesar 2-9
kali. Eliminasi sifilis menjadi sangat penting, tidak hanya untuk pencegahan
sifilis lanjut, tetapi juga mencegah penularan dan progresivitas HIV.
World health organization (WHO) memperkirakan di seluruh
dunia ditemukan sekitar 12 juta kasus baru sifilis setiap tahunnya,
antara lain di Asia Selatan dan Tenggara sebanyak 4 juta kasus, Afrika
sub-Sahara sebanyak 4 juta kasus, serta Amerika Latin dan Karibia sebanyak 3
juta kasus.2 Penelitian Departemen Kesehatan (DepKes) terhadap WPS di 7 kota
besar di Indonesia pada tahun 2003 dan 2005 mendapatkan rerata prevalensi
sifilis masing-masing sebesar 11%5 dan 8,7%6. Mengingat banyaknya kasus sifilis
laten tanpa gejala (98,6%) dan tanpa tanda (99%), maka sebagian besar WPS tidak
akan mencari pengobatan, dengan demikian rantai penularan akan terus berlanjut
dan penyakit semakin berkembang dalam tubuh.
Angka infektifitas terkait dengan golongan umur seksual
aktif, yaitu tertinggi pada golongan usia 20-24 tahun, kemudian sedikit
berkurang pada golongan usia 19 tahun, dan lebih rendah pada golongan usia
25-29 tahun.
Pada akhir tahun 1940-an ternyata penisilin aktif dalam
membasmi sifilis pada setiap stadium kliniknya, baik pada infeksi laten maupun
pada infeksi kongenital.
Puncak insidensi sifilis terlihat pada tahun 1946-1947.
Jumlah kasus secara progresif berkurang hingga tahun 1958, kemudian
kecenderungan tersebut berbalik dan terjadi peningkatan yang menetap. Insidensi
manifestasi lanjut telah sangat menurun, kemungkinan akibat penggunaan
penisilin dan antibiotika sejenisnya untuk mengobati berbagai penyakit
nonsifilitik lainnya.
Selain Treponema pallidum bakteri lain yang menyebabkan infeksi penyakit menular
seksual adalah Neisseria gonorrhoeae. Nama lain dari Neisseria
gonorrhoeae adalah Micrococcus gonorrhoeae atau Diplococcus
gonorrhoeae atau gonokokus. Bakteri ini menyebabkan penyakit gonorrhoe atau
kencing nanah. Penyakit ini merupakan penyakit kelamin yang sering terjadi dan
manusia merupakan satu-satunya hospes alamiah.
Istilah gonorrhoe mula-mula diperkenalkan
oleh Galen pada 130 tahun Sebelum Masehi. Penyakit ini sudah dikenal orang
sejak zaman Tiongkok Purba dan Mesir Purba.
Pada tahun 1874, Neisser menemukan penyabab
penyakit ini dari secret purulent dari urethra seorang yang menderita
urethritis akut, vaginitis dan pada secret mata penderita konjungtivitis akut.
Pada tahun 1885, Bumm berhasil membiakkan kultur murni kuman ini dan berhasil
menularkan penyakit ini dengan jalan menginokulasikannya pada sukarelawan.
Penyebaran & Penularan Gonorrhea telah menyebar ke
seluruh dunia. Di Amerika Serikat, tingkat kejadiannya meningkat
secara cepat dari tahun 1955 hingga akhir 1970 dengan 400 hingga 500 kasus per
100 ribu populasi. Berikutnya berhubungan dengan epidemi AIDS dan perkembangan
penerapan seks yang aman, insiden telah menurun mendekati 100 kasus tiap 100
ribu populasi. Di Indonesia, infeksi gonorrhoe menempati urutan yang tertinggi
dari semua jenis PMS. Beberapa penelitian di Surabaya, Jakarta, dan Bandung
terhadap WPS menunjukkan bahwa prevalensi gonorrhoe berkisar antara 7,4%-50%.
Gonorrhea yang secara khusus ditularkan melalui hubungan
seksual, kebanyakan merupakan infeksi yang tanpa gejala. Tingkat infeksi dari
organisme, yang dilihat dari kemungkinan seseorang untuk mendapat infeksi
dari pasangan seksualnya yang telah terinfeksi, mencapai 20 - 30% pada pria dan
lebih besar lagi pada wanita. Tingkat infeksi dapat dikurangi dengan
menghindari berganti-ganti pasangan, pemberanrasan gonorrhoe dari individu yang
terinfeksi (yang dapat dilakukan dengan diagnosa dini dan pengobatan), serta
temuan kasus-kasus dan kontak-kontak melalui penyuluhan dan penyaringan
populasi yang beresiko tinggi. Mekanisme profilaksis (kondom) dapat
menjadi perlindungan yang parsial.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Treponema pallidum
1. Klasifikasi
Kingdom : Eubacteria
Phylum : Spirochaetes
Class : Spirochaetes
Ordo : Spirochaetales
Familia : Treponemataceae
Genus : Treponema
Spesies : Treponema pallidum
2. Morfologi
dan pewarnaan
Treponema pallidum berbentuk spiral yang ramping
dengan lebar kira-kira 0,2 μm dan panjang 5-15 μm. Lengkung spiralnya secara
teratur terpisah satu dengan lainnya dengan jarak 1 μm. Treponema pallidum bergerak aktif, berotasi dengan cepat disekitar
endoflagelnya bahkan setelah menempel pada sel melalui ujungnya yang lancip.
Aksis panjang spiral biasanya lurus tetapi kadang-kadang melingkar, yang
membuat organisme tersebut kadang-kadang membentuk lingkaran penuh dan kemudian
akan kembali lurus ke posisi semula (Jawetz, Melnick, dan Adelberg, 2007).
Treponema pallidum sukar diwarnai, untuk melihat
morfologi bakteri ini, dapat digunakan pewarnaan khusus seperti :
ü Pewarnaan Fontana
Tribondeau
yang menggunakan perak nitrat, sebab bakteri ini dapat mereduksir perak nitrat.
ü Pewarnaan Levaditi (silver
impregnation)
Digunakan
unutk mewarnai bakteri yang berada di dalam jaringan,
ü Pewarnaan Negatif
Menggunakan
tinta cina (indian ink)
ü Pewarnaan Giemsa
Dengan mikroskop lapang pandang gelap (dark field microscope), dapat dilihat morfologi Treponema pallidum dalam keadaan hidup,
disamping dapat dilihat pergerakannya. Bakteri ini juga dapat dilihat atau
diidentifikasi dengan menggunakan teknik imuunofluoressens.
Treponema pallidum tidak membentuk spora, dan pada
spesies yang patogen didapatkan adanya struktur seperti kapsul yang tidak
didapatkan pada spesies yang non patogen (Tim Mikrobiologi, 2003).
3. Biakan
Treponema pallidum memperbanyak diri dengan cara
membelah diri secara transversal di dalam tubuh hospes maupun pada hewan coba.
Treponema pallidum yang patogen tidak dapat dibiakkan
pada media buatan atau pada perbenihan jaringan ataupun embryonated egg walaupun diinkubasikan pada suasana anaerob.
Treponema pallidum yang patogen hanya dapat dibiakkan
pada testis kelinci dengan waktu pembelahan (generation time) sekitar 30 jam
(Tim Mikrobiologi, 2003).
Treponema pallidum yang non-patogen dapat dibiakan
secara anaerob in vitro. Bakteri ini bersifat saprofit
dan secara antigen berhubungan dengan Treponema
pallidum. ???
(Jawetz, Melnick, dan Adelberg, 2007).
4. Sifat
pertumbuhan
Treponema pallidum adalah bakteri mikroaerofilik,
bakteri ini paling baik hidup dalam lingkungan dengan kadar oksigen 1-4 %.
Strain Reiter saprofitik tumbuh pada medium yang
mengandung 11 asam amino, vitamin, garam, mineral, dan albumin serum.
Pada cairan suspense yang cocok dan adanya substansi
pereduksi, Treponema pallidum dapat
tetap bergerak selama 3-6 hari pada suhu 25°C. Pada darah lengkap atau plasma yang disimpan pada suhu 4°C, dapat bertahan hidup selama
minimal 24 jam. Hal ini penting untuk transfusi darah (Jawetz, Melnick, dan
Adelberg, 2007 dan Dr. Bambang Suryono, 1995).
5. Daya
tahan
Apabila Treponema
pallidum tersebut kontak dengan oksigen, akan segera mati. Treponema pallidum dengan mudah dapat
dimatikan dengan pemberian saponin, aquadest, sabun, salep yang mengandung Hg,
dan antibiotika. Bahkan bakteri yang dibiakan pada
testis kelinci dengan mudah dapat dimatikan dengan cara pemanasan. Oleh karena
itu, pengobatan terhadap penderita sifils pernah dilakukan dengan cara diberi
penyakit lain yang dapat menimbulkan panas tinggi misalnya penyakit malaria,
atau dengan aliran listrik frekuensi tinggi. Kenapa kejam , sumber dari ??
Bakteri tersebut akan mati dalam waktu 3-4 hari bila berada
dalam darah yang disimpan dalam almari es. Oleh karena itu, untuk menghilangkan
kekhawatiran terjadinya penularan terhadap penyakit ini melalui darah (misalnya
karena transfusi), darah dimasukkan terlebih dahulu ke dalam almari es selama 4
hari. Jadi, penularan sifilis lewat darah dapat terjadi hanya pada darah segar
(fresh blood)
(Tim Mikrobiologi, 2003).
6. Struktur
a. Struktur
Umum
Struktur bakteri Treponema
pallidum identic dengan struktur Treponema
secara umum, hanya kandungannya lebih jelas diketahui. Susunan Treponema pallidum (bobot kering)
kira-kira adalah 70% protein, 20% lipid, dan 5% karbohidrat. Kandungan lipidnya
relative tinggi untuk bakteri. Dari lipid total, 68% adalah fosfolipid (terutama
fosfatidilkolin, sfingomielin, serta kardiolipin) dan 32% merupakan lipid
netral (terutama kolesterol)
(Sylvia Y. Muliawan, 2008).
b. Struktur
Antigen
Treponema pallidum mempunyai hialuronidase yang memecah
asam hialuronat dalam sustansi dasar jaringan dan kemungkinan meningkatkan
sifat invasif bakteri tersebut. Profil protein Treponema pallidum tidak dapat dibedakan, lebih dari 100 antigen
protein telah diketahui. Endoflagel terdiri dari tiga protein inti yang homolog
dengan protein flagelin bakteri lain, serta protein selubung yang tidak
berhubungan. Kardiolipin adalah komponen penting dari antigen Treponema pallidum (Jawetz, Melnick dan
Adelberg, 2007).
Dari hasil penelitian Nelson dan Mayer pada tahun 1949,
diketahui bahwa di dalam darah penderita sifilis terdapat adanya suatu jenis
antibody yang dapat menghentikan pergerakan (mobilisasi) bakteri Treponema pallidum. Selanjutnya,
antibody ini digunakan sebgai bahan pada tes diagnostic terhadap penyakit
sifilis, yaitu tes TPI (Treponema
pallidum Immobilization test). Pada tes TPI, dijumpai adanya reaksi silang
antara spesies Treponema pathogen
yang lain, tetapi tidak dijumpai adanya reaksi silang dengan spesies yang
saprofit.
Portonoy dan magnuson pada tahun 1955 menemukan antigen yang
lebih spesifik dan antigen ini merangsang pembentukan antibody yang disebut Treponema pallidum complement fixing
antibody (TPCF-Ab), yang diduga merupakan suatu aglutinin dan dapat
memberikan tes positif pada permulaan penyakit.
Apabila serum penderita sifilis dipisahkan secara
elektroforesis, akan didapatkan :
ü Ab reaginik yang tampak pada gama
globulin fraksi lambat,
ü TPI-Ab yang didapatkan pada gama
globulin fraksi cepat, dan
ü TPCF-Ab yang distribusinya lebih
dari satu fraksi, diduga terdiri atas beberapa macam antibody aglutini.
Selain antibody-antibodi di atas, masih didapatkan
antibody lain yang disebut Fluorescent
Treponemal Antibody (FTA)
(Tim Mikrobiologi, 2003).
7. Patogenesis
Manusia merupakan hospes alami satu – satunya bagi Treponema pallidum dan infeksi terjadi
melalui kontak seksual. Organisme ini menembus selaput mukosa atau memasuki
kulit yang mempunyai luka kecil. Setelah berada di dalam hospes, organisme tersebut
terlokalisasi pada temp;at masuknya dan mulai memperbanyak diri.
Treponema pallidum segera memasuki aliran darah dan
pembuluh limfe, kemudian tersebar ke jaringan lainnya. Dengan demikian, sejak
awal sifilis merupakan penyakit yang menyerang seluruh bagian tubuh.
Jaringan yang menjadi sasaran meliputi kelenjar limfe, kulit, selaput
mukosa, hati, limfe, ginjal, jantung, tulang, laring, lesi awal biasanya
terdapat pada labia, dinding vagina, atau pada servik; sedangkan pada pria,
lesi awal terdapat pada batang penis atau glans penis. Lesi primer dapat pula
terjadi pada bibir, lidah, tonsil, atau daerah kulit lainnya.
Setelah secara spesifik menambatkan diri pada
sejumlah besar jaringan, Treponema
pallidum mengeluarkan hialuronidase yang mengubah asam hialuronat di dalam
matriks untuk mempermudah penyebarannya. Untuk dapat memasuki pembuluh darah
limfe, bakteri Treponema harus
merusak membrane basal yang utuh di sekitar pembuluh, kemudian berjalan ? di antara sel endotel untuk
memasuki lumen. PENTING
Selain melambatkan diri, Treponema pallidum memiliki setidaknya 3
faktor firulensi yang secara parsial menetralkan respons imun. Zat glikosaminoglikan yang serupa dengan asam hialuronat bekerja sebagai factor
antikomplemen. Polisakarida berantai lurus panjang ini melapisi permukaan luar
organisme. Mungkin zat tersebut merupakan sejenis bahan kapsul yang dibentuk
oleh organisme, atau mungkin pula zat itu hanya merupakan lapisan pasif
glikosaminoglikan yang berasal dari hospes. Darimanapun asalnya, zat tersebut
mengganggu daya bunuh bakteri Treponema
melalui jalur komplemen klasik (tergantung antibody). Glikosaminoglikan dan
asam sialat agaknya memungkinkan organisme ini menyebar di dalam aliran darah,
walaupun terdapat efek merugikan dari komplemen – kompplemen tersebut.
Treponema pallidum tampaknya memiliki suatu
jalur siklooksigenase yang utuh dan mampu membentuk prostaglandin E2-nya
sendiri. Zat autokoid ini merupapkan imunomodulator
yang ampuh. Telah dikemukakan pendapat bahwa prostagladin E2 menghambat pemrosesan
imun dini dengan cara merangsang factor penting untuk eksaserbasi infeksi
menuju ke stadium klinik berikutnya. ??
Dalam beberapa jam sampai beberapa hari setelah T.pallidum menembus selaput mukosa yang
utuh atau masuk melalui kulit yang mengalami abrasi, bakteri ini memasuki
pembuluh limfe dan aliran darah, kemudian menyebar ke seluruh tubuh. Hampir
semua organ tubuh dapat diserang, termasuk susunan saraf pusat.
Dosis infeksius bervariasi antarpenderita, tetapi pada
kelinci, inoculum yang hanya mengandung empat Spirochaeta dapat menimbulkan infeksi. Organisme ini membelah
setiap 30 -33 jam. Lesi klinik muncul bila tercapai kadar sekitar 107
organisme per gram jaringan, dan masa inkubasinya berbanding lurus dengan
jumlah inoculum (Sylvia Y. Muliawan, 2008).
8. Patologi
Secara patologik, ciri khas chancre pada stadium primer adalah infiltrasi hebat yang terdiri
atas sel plasma dengan sebaran histiosit, penebalan poliferatif fibroplastik
pada pembuluh darah kecil, dan akhirnya endarteritis obliterans, yang selalu
ada dan hampir bersifat diagnostic.
Endarteritis obliterans yang terdiri atas penebalan
proliferative fibroblastic dan endothelial pada vasa vasorum dan pembuluh darah
kecil meerupakan petanda histopatologik sifilis kardiovaskular dan neurosifilis
meningovaskular. Perubahan patologik ini ditemukan pada semua stadium sifilis.
Pada chancre primer dapat pula
terlihat leukosit polimorfonuklear dan makrofag yang sedang memakan treponema. Hyperkeratosis ( gambar ? ) seringkali
ditemukan pada lesi kulit sifilis sekunder dan khususnya nyata pada
kondilomata.
Sifilis merupakan penyakit granulomatosa menahun yang
ditandai dengan terbentuknya guma ( gambar ? ) yang terdiri atas begian nekrotik dan
sentral koagulatif serta endarteritis obliterans pada pembuluh darah kecil. Hal
ini terdapat di mana saja pada bagian tubuh (Sylvia Y. Muliawan, 2008).
9. Manifestasi
klinik
Sifilis merupakan penyakit sistemik kompleks dengan berbagai
manifestasi klinik yang disebabkan oleh Treponema
pallidum. penyakit ini paling sering ditularkan melalui kontak seksual, dan
berbeda dengan penyakit infeksi lainnya. Sifilis jarang didiagnosa dengan
mengisolasi dan mengenali organisme penyebabnya. Diagnose ditegakkan dengan
metode yang kurang peka, yaitu pemeriksaan mikroskop lapangan gelap direct, dan
berdasarrkan temuan klinik serologic, dan epidemiologic.
Manifestasi klinik sifilis bersifat kompleks dan sangat difus ??, serta periode
timbulnya masing – masing stadium sangat berbeda – beda. Pada saat jumlah
bakteri Treponema meningkat, timbul
manifestasi klinik dan apabila jumlahnya berkurang sebagai akibat respon hospes
yang efektif, maka terjadi periode asimtomatic. Manifestasi klinik yang paling
menonjol pada infeksi sifilis adalah terkenanya daerah perivascular di sekitar
arteriol dan kapiler. Periarteritis (
yaitu proliferasi sel adventitia dan adanya cuffing)
endarteritis ( adalah pembengkakan
dan proliferasi sel endotel yang mengakibatkan penyempitan lumen), dan
infiltrasi limfosit serta sel plasma merupakan ciri khas histopatologi sifilis.
Treponema pallidum tampaknya tidak
menghasilkan toksin, dan ada pendappat yang menyatakan bahwa setidaknya
sebagian dari gambaran histopatologi diakibattkan oleh aktivasi pertahanan
tubuh hospes.
Pada sekitar 30% kasus, infeksi sifilis dini sembuh total
secara spontan tanpa pengobatan. Pada 30% kasus lainnya, infeksi yang tidak
diobati menjadi laten (diketahui dengan uji serologic yang positif). Pada sisa
kasus, penyakit berlajut ke stadium tersier, yang ditandai dengan pembentukan
lesi granulomatosa (guma) pada kulit, tulang, dan hati; perubahan degeratif
pada susunan saraf pusat (sisilis meningovaskuler, paresis, tabes); atau lesi
kardiovaskuler (aortitis, aneurisma aorta, insufiensi katup aorta). Pada semua
lesi tersier, jarang ditemukan bakteri Treponema,
dan reaksi tubuh yang berlebihan harus dianggap akibat hipersensitivitas
terhadap organisme tersebut. Akan tetapi, pada sifilis stadium lanjut, sesekali
dapat ditemukan bakteri Treponema di
dalam mata atau susunan saraf pusat. Sifilis lanjut mengacu pada penyakit
tersier yang secara klinik nyata atau tidak nyata, yang timbul pada sepertiga
penderita yang tidak diobati. Sebagian besar lesi tersebut mengenai vasa
vasorum aorta dan/atau arteri pada susunan saraf pusat; sisanya terutama
terdiri atas guma. Kulit, hati, tulang, dan limpa merupakan lokasi guma yang
paling sering. Pembagian sifilis berdasarkan manifestasi klinik :
ü Masa inkubasi yang berlangsung
sekitar 3 minggu;
ü Stadium primer yang ditandai oleh
lesi kulit yang tidak nyeri (chancre) yang terkait dengan limfadenopati
regional dak bacteremia dini;
ü Stadium bacteremia sekunder atau
stadium diseminata yang disertai lesi mukokutan dan limfadenopati umum;
ü Masa infeksi subklinis (sifilis laten)
yang hanya terdeteksi dengan uji serologik; dan
ü Pada sejumlah kecil penderita,
stadium lanjut atau tersier yang ditandai oleh penyakit yang progresif dan
dapat mengenai hampis setiap organ tubuh, teutama aorta asendens dan/atau
susunan saraf pusat.
(Sylvia Y.
Muliawan, 2008).
10. Bentuk
klinis
Penularan sifilis pada manusia terjadi secara kontak
langsung yaitu melalui hubungan kelamin (sexual
intercourse). Bakteri Treponema
pallidum masuk ke dalam tubuh hospes dengan menembus lapisanmukosa yang
utuh (intact), atau melalui lesi pada
kulit. Pada infeksi sifilis ini, sekitar 95% lesi didapatkan pada genitalia,
sedangkan 5% selebihnya bisa didapatkan ektragenital, misalnya pada bibir atau papilla mammae.
Waktu infeksi penyakit ini 10-90 hari, rata-rata 3
minggu. Setelah masuk ke dalam tubuh, bakteri berkembang biak pada tempat
dimana bakteri masuk (portal of entry), kemudian menyebar ke dalam kelenjar
getah beningregionla dan selanjutnya memasuki perdedaran darah serta menyebar
ke seluruh tubuh. Selang beberapa waktu, pada kulit, dijumpai adanya
Kenapa agak beda dengan pathogenesis ???kelainan yang disebut ulcus durum atau hard cnancre (Hunterian
chancre) yan gmempunyai tanda-tanda :
ü Tidak nyeri,
ü Dasarnya keras,
ü Merupakan lesi tunggal,
ü Permukaannya bersih,
ü Tepi meninggi,
ü Didapatkan sel-sel radang seperti
limfosit dan sel plasma, dan
ü Warnanya kemerahan.
(Tim Mikrobiologi, 2003).
a.
Sifilis primer (Lues I)
Lokalisasi dari lesi primer didapatkan pada daerah
genitalia; pada laki-laki didapatkan disekitar corona glandis dan urethra, sedang pada wanita lesi primer ini
didapatkan pada labia, perineum, dinding vagina atau pada serviks uteri. Di
sekitar lesi primer akan didapatkan pembesaran kelenjar limfe regional yang
tidak nyeri.
Kelainan klinis pada lues I berupa ulkus durum. Adanya
bakteri Treponema pallidum pada
sifilis primer ini dapat diperlihatkan pada bahan pemeriksaan dari penderita
yang belum diberi pengobatan. Bakteri dapat ditemuakan pada lesi local dalam
waktu 6-24 jam. Semasa waktu inkubasi dan satu hari setelah timbulnya lesi
primer, antibody masih belum terbentuk dan adanya antibody baru dapat dideteksi
30 hari setelah timbulnya lesi primer. Lesi primer pada lues I ini dapat
sembuh sendiri dalam waktu 10-40 hari tanpa diberi pengobatan.
(Tim Mikrobiologi, 2003).
b.
Sifilis sekunder (Lues
II)
Sifilis sekunder timbul dalam waktu 2-10 minggu setelah lesi
primer sembuh, rata-rata sekitar 3 bulan.
Kelainan yang timbul pada kulit dan mukosa berupa lesi-lesi
yang sangat infeksius, dengan ciri-ciri :
ü Rash makulo popular di seluruh tubuh,
terutama pada tempat-tempat yang basah seperti : aksila mulut, genitalia, dan
anus. Pada tempat-tempat yang lembab tersebut juga timbul kelainan yang disebut
condylomata lata;
ü Gejala-gejala lain yang timbul dapat
berupa febris, sakit kepala, sakit pada tenggorokan, limfadenopathi umum, dan
mungkin pula disertai kelainan pada ginjal, arthritis dan athralgia.
Lesi sekunder akan hilang dalm waktu 3-12 bulan kemudian
timbul dan menghilang berulang-ulang selama sekitar 4-5 tahun. Tes serologis
pada sifilis sekunder memberikan hasil positif.
(Tim Mikrobiologi, 2003).
c.
Sifilis tersier (Lues
III)
Sekitar 3-10 tahun setelah sifilis sekunder, pada penderita
akan ditemukan adanya lesi granulomatous yang disebut gumma. Kelainan ini sifatnya local daan ditemukan pada kulit,
tulang, dan hepar. Terbentuknya gumma ini kemungkinan sebagai akibat dari
reaksi hipersensitif tipe lambat terhadap bakteri Treponema, walaupun mekanismenya yang jelas belum diketahui.
Lues III disebut juga late
latent syphilis. Lues III memberikan hasil positif sekita 60-70% terhadap
tes-tes serologis terhaadap sifilis. Hasil tes serologis terhadap cairan spinal
dapet positif, meskipun untuk serum memberikan hasil yang negative.
Manifestasi
klinis dari sifilis tersier antara lain, berupa :
ü Sifilis kardiovaskuler,
ü Neurosifilis,
ü Sifilis kongenital.
v Sifilis kardiovaskuler
Umumnya, 10-40 tahun setelah sifilis primer pada penderita
yang tidak diberi pengobatan akan timbul sifilis kardiovaskuler. Dalam hal ini,
biasanya yang terserang adalah pembuluh-pembuluh darah besar pada jantung,
misalnya aorta. Akibat keradangan yang terjadi, menyebabkan aneurisma pada
aorta atau kelainan klep dari aorta, sehingga akan terjadi insufficiency jantung.
v Neurosifilis
Setelah terjadinya lesi primer, sekitar sepertiga dari
penderita sifilis akan mengalami keradangan pada susunan saraf pusat. Namun
demikian, hanya separuh dari penderita yang mengalami keradangan pada susunan
saraf pusat tersebut yang mengalami neurosifilis, yaitu terutama pada
penderita-penderita yang tidak diobati.
Waktu timbulnya neurosifilis ini, berkisar 5 tahun setelah
terjadinya sifilis primer. Manifestasi klinisnya antara lain berupa :
§ Tabes dorsalis,
§ Dementia paralytica,
§ Amyotropic lateralis,
§ Seizures,
§ Optic atrophy, dan
§ Gumma pada medulla
spinalis.
PAHAMI ARTINYA
v Sifilis kongenital
Bentuk klinis yang lain dari penyakit sifilis adalah sifilis kongenital. Sifilis kongenital
ini timbul karena bakteri Treponema
pallidum dapat menmbus plasenta dan akan menyebabkan bacteremia pada fetus
(Tim Mikrobiologi, 2003).
Seorang wanita hamil dengan sifilis dapat
menularkan Treponema pallidum ke
fetusnya melalui plasenta dimulai pada minggu ke-10 sampai minggu ke-15 usia
kehamilan. Beberapa fetus yang terinfeksi meninggal dunia dan menimbulkan
keguguran, yang lainnya masih dapat lahir aterm (Jawetz, Melnick, dan Adelberg,
2007). TIPE PENULARAN TRANSPLASENTA
Angka kematian dari sifilis kongenital berkisar sekitar 25%
dan kesembuhan yang disertai kelainan kongenital sekitar 40%.
Keguguran kandungan (abortus) oleh karena sifilis kongenital
biasanya terjadi pada trimester ke-16 kehamilan karena, pada saat itu, lapisan
Langerhans khorion mengalami atropi. Selain menyebabkan abortus, penyakit ini
juga merupakan penyebab tersering dari bayi lahir mati (still birth). Bila
infeksinya terjadi pada trimester terakhir kehamilan, bayi yang lahir akan
disertai kelainan- kelainan. Kelainan-kelainan tersebut dapat langsung
terlihat, berupa lesi pada kulit atau selaput lender atau berupa gejala kuning
(jaundice), hepato-splenomegali, dan anemia hemolitik. Namun demikian, ada
kelainan yang baru terlihat setelah anak agaak besar, berupa :
ü Trias dari Huthchinson,
yaitu : kelainana gigi, keratitis interstitialis, dan gangguan pada N.VIII (nerve deafness),
ü Saddle nose,
ü Kelainan pada tulang tibia
(sabre shin), dan
ü Mulberry molar (Tim Mikrobiologi, 2003).
ü GAMBAR ???
Pada infeksi kongenital, anak akan membuat antibody IgM
antitreponema (Jawetz, Melnick, dan Adelberg, 2007).
11. Specimen
Specimen yang digunakan dapat berasal dari cairan jaringan
yang diambil dari lesi superfisial dini untuk memperlihatkan adanya bakteri Spirochaeta, sedangkan serum digunakan
untuk uji serologik. Kadang dapat diperlihatkan adanya Spirochaeta dari bahan biopsi. Dari bahan tersebut yang paling umum
dilakukan adalah denggan pewarnaan perak (Levaditi), tetapi penampakan bakteri
mungkin dapat dikacaukan dengan jaringan elastis. Oleh karena itu, pewarnaan immunofluoresensi atau imunoperoksidase yang spesifik pada
specimen patologi yang tidak dibekukan lebih disukai dibandingkan dengan pewarnaan
perak (Jawetz, Melnick, dan Adelberg, 2007 dan Sylvia Y. Muliawan, 2008 ).
12. Diagnose
laboratorium
Diagnosa penyakit sifilis secara pasti dipersulit karena Treponema pallidum belum dapat dibiakan
secara in vitro. Manifestasi klinik,
demonstrasi bakteri Treponema pada
bahan lesi, dan reaksi serologi digunakan untuk mendiagnosis. Pada sebagian
besar kasus, manifestasi klinik sudah cukup khas. Bila manifestasi tersebut
mencakup lesi eksufdatif, harus dapat ditemukan bakteri Treponema di dalam bahan lesi. Mikroskopis lapangan gelap digunakan
untuk memvisualisasikan organisme motil dan nonmotil.
( Sylvia
Y. Muliawan, 2008 ).
TES SEROLOGI UNTUK SIFILIS
(Serologic Test for Syphilis / STS)
Uji serologic dalam diagnosis, terutama pada kasus dengan
mnaifestasi klinik yang membingungkan atau bila tidak terdapat bahan eksudat.
Sela bertahun-tahun telah dikembangkan berbagai uji selorogik, yang terbagi
dalam dua kelompok umu, yaitu :
1. Uji nontreponemal
Mengukur
kadar antibodi Wassermann, yang timbul sebagai respon terhadap kardiolipin,
kemungkinan berasal dari jaringan hospes.
2. Uji treponemal
Mengukur
kadar antibody yang timbul sebagai respon terhadap komponen antigenic Treponema pallidum. Uji antobodi
spesifik kemungkinannya tinggi apabila ada infeksi treponemal pada saat ini
maupun pada waktu lampau.
(
Sylvia Y. Muliawan, 2008 ).
v Uji nontreponemal
Tes nontreponemal merupakan tes pertama yang dikerjakan
untuk menegakkan diagnosis secara serologis atau disebut original test. Tes ini mula-mula dikerjakan oleh Wassermann. Tujuan
tes nontreponemal untuk mencari adanya antibody reagenik yang ada pada
penderita ( Tim Mikrobiologi, 2003).
a. Uji fiksasi komplemen (complement fixation, CF)
Uji ini antara lain meliputi uji Wassermann-Kolmer, yang
merupakan uji fiksasi komplemen berdasarkan fakta bahwa serum yang mengandung
reagen mampu memfiksasi komplemen bila terdapat antigen kardiolipin. Harus
dipastikan bahwa serum tersebut tidak bersifat antikomplemen (artinya, tidak
merusak komplemen tanpa adanya antigen) ( Sylvia Y. Muliawan, 2008 ).
b. Uji flokulasi
Uji ini berdasarkan fakta bahwa pertikel antigen lipid
(kardiolipin yang berasal dari jantung sapi) akan tetap terdispersi dalam serum
normal, tetapi akan membentuk gumpalan yang tampak bila berikatan dengan
reagin. Hasil uji akan tampak dalam beberapa menit saja, terutama bila
suspensinya dikocok. Uji tersebut cocok untuk diotomatisasikan dan digunakan
pada survey, karena biayanya ringan. Uji VDRL atau RPR yang positif akan
kembali negative dalam 6-18 bulan setelah pengobatan sifilis yang efektif (
Sylvia Y. Muliawan, 2008 ).
Tes flokulasi yang lain selain VDRL dan RPR, adalah tes dari
Hinton, Kleine, Mazini, dan tes dari Kahn.
Kerugian dari tes nontreponemal adalah dijumpai adanya
reaksi positif palsu, misalnya karena adanya penyakit-panyakit : malaria,
lepra, demam bolak-balik, demam tifoid, campak, cacar, dan lain-lain (Tim
Mikrobiologi, 2003)
v Uji treponemal
a. Treponema pallidum Immobilization test / TPI
Dasar dari
tes ini bahwa terdapat antibody pada penderita yang mempunyai kemampuan untuk
menghentikan pergerakan dari bakteri treponema yang masih hidup. Sebagai
antigen, digunakan bakteri Treponema pallidum
yang masih hidup (diambil dari lesi penderita atau bakteri yang dibiakkan pada
testis kelinci) (Tim Mikrobiologi, 2003).
Uji ini
memperlihatkan imobilisasi Treponema
pallidum oleh antibody spesifik pada serum penderita setelah minggu ke-2
infeksi. Pengenceran serum dilakukan dengan cara dicampur dengan komplemen dan Treponema pallidum yang bergerak aktif,
yang diekstraksi dari chancre testis
seekor kelinci, kemudian campuran tersebut diamati di bawah mikroskop. Bila
terdapat antibody spesifik, Spirochaeta tidak
bergerak aktif lagi (pada serum normal bakteri ini tetap bergerak aktif). Uji
ini membutuhkan bakteri Treponema hidup
yang berasal dari hewan yang terinfeksi dan hal ini sulit untuk dilaksanakan,
masa kini jarang dilakukan (Sylvia Y. Muliawan, 2008).
Tes ini
sangat mahal dan sukar, juga memberikan hasil yang positif terhadap
penyakit-penyakit yang non-veneral seperti: yaws, bejel, dan pinta (Tim
Mikrobiologi, 2003).
b. Reiter Complement Fixation Test
Selain tes
serologi diatas, dikenal pula tes serologis lain yang disebut Reiter Protein
Complement Fixation. Pada tes serologi ini, dipakai antigen yang berasal dari
ekstrak dari treponema yang avirulen yang disebut galur Reiter, yang dapat
dibiakkan secara in vitro.
Kelemahan dari tes ini antara lain :
ü Pada stadium lanjut dari penyakit
sifilis, justru sering memberikan hasil yang negatif;
ü Terjadi reaksi silang dengan bakteri
treponema yang merupakan flora normal pada mulut (T.microdentium dan T.macrodentium).
(Tim Mikrobiologi, 2003)
c. Fluorescent Antibody Technique (FAT)
Diagnosis
terhadap infeksi oleh Treponema pallidum
juga dapat dilakukan dengan teknik imunofluoresens. Untuk cara ini, dipakai
antigen dari bakteri treponema galur Nichol. Cara imunofluoresens ini digunakan
untuk diagnosis sifilis kongenital, dan untuk menegakkan diagnosis terhadap
late syphilis. Dalam hal ini, antibody yang diperiksa dilabel dengan anti-human
gamma globulin dan zat fluoresenin-isothiosianat kemudian dilihat di bawah
mikroskop fluoresens. Tes ini sangat sensitive dan hasilnya dapat dipercaya.
Sensitivitas dari tes ini adalah 85% pada sifilis stadium I, 100% stadium II,
dan 98% pada stadium III (Tim Mikrobiologi, 2003).
Uji ini
menggunakan imunofluoresensi indirect ( Treponema
pallidum yang dimatikan + serum penderita + anti-gammaglobilin manusia yang
berlabel ), dan menunjukkan spesifisitas dan sensitifitas yang sangat baik
untuk antibody sifilitik, bila serum penderita telah diabsorbsi oleh Spirochaeta galur Reiter yang
disonifikasi sebelum dilakukan uji FTA (Sylvia Y. Muliawan, 2008).
FAT adalah
tes yang mahal dan membutuhkan waktu yang lama sehingga tidak direkomendasikan
untuk tes uji saring (screening). Tes ini digunakan untuk konfirmasi tes
nontreponemal yang positif dan untuk diagnose sifilis stadium lambat dimana tes
nontreponemal sering memberikan hasil negatif palsu (Tim Mikrobiologi, 2003).
d. Treponema pallidum hemaglutination (TPHA) test
Treponema
diabsorbsikan pada permukaan sel darah merah. Jika dicampur dengan serum yang
mengandung antibody antitreponemal, sel-sel tersebut akan menggumpal. Tes ini
mirip dengan FTA dalam hal sensitivitas, tetapi memberikan hasil positif lebih
lambat dari perjalanan infeksinya (Tim Mikrobiologi, 2003).
v Reaksi positif palsu (Biological
false positif / BFP )
Hasil reaksi positif palsu akut atau sementara pada uji
reaginik nontreponemal mungkin terjadi bila terdapat rangsangan imunologik yang
kuat (contohnya pada infeksi akut yang dissebabkan oleh bakteri, pneumonia,
hepatitis, penyakit-penyakit virus yang memberikan rash kulit, atau pada
vaksinasi). Hasil pemeriksaan yang tetap positif selama berbulan-bulan terjadi
pada orang yang mengalami ketergantungan obat (narkotika) pada penyakit
autoimun atau penyakit jaringan ikat (kolagen), khususnya lupus eritematosus
sistemik, juga pada usia lanjut (sampai 10% orang berusia di atas 70 tahun)
atau pada keadaan hipergamaglobulinemia. Sedangkan pemeriksaan yang memberikan
hasil positif palsu pada uji reginik nontreponemal cenderung berkaitan dengan
factor serum lainnya yang seringkali berhubungan dengan penyakit autoimun,
misalnya antibody antinuclear, antitiroid, atau antimitokondria, factor
rheumatoid, dan krioglobulin (cryoglobulin).
Pemeriksaan yang memberikan hasil positif palsu pada uji
reginik nontreponemal biasanya dapat diverifikasi dan adanya sifilis dapat
disingkirkan dengan cara mendapatkan hasil negative pada uji antibodi
treponemal spesifik (misalnya dengan FTA-abs, TPHA). Sayangnya, kadang-kadang
penyakit yang sama dapat memperlihatkan reaksi silang yang artinya memberikan
hasil positif palsu pada ujii reaginik nontreponemal, dapat pula memberikan
hasil positif palsu pada uji reaginik nontreponemal, dapat pula memberikan
hasil uji FTA-abs yang positif atau positif meragukan (borderline positive).
Demikian pula FTA-abs dapat memberikan hasil positif ketika hasil pemeriksaan VDRL
menunjukkan negative.
Penyakit Spirochaeta lainnya seperti demam relaps
(disebabkan oleh Borrelia sp) atau framboesia, pinta, leptospirosis, rat-bite fever (Spirillum minor) juga akan menghasilkan uji nontreponemal atau uji
treponemal yang positif. Borrelia
burgdorferi (penyakit Lyme) memberikan reaksi reaginik nontreponemal (VDRL)
yang positif (Sylvia Y. Muliawan, 2008).
13. Pengobatan
Penisilin dengan konsentrasi 0,003 unit/ml mempunyai
aktifitas treponemisidal yang jelas, dan penisilin adalah pengobatan
pilihannya. Sifilis dengan durasi kurang dari 1 tahun diobati dengan injeksi
tunggal benzatin penisilin G secara intramuscular. Pada sifilis stadium lebih
yang lebih lanjut/ laten, benzatin penisilin G secara intramuscular diberikan 3
kali dengan interval 1 minggu. Pada neurosifilis, juga diberikan pengobatan
yang sama, tetapi dosis tinggi penisilin intravena kadang satu minggu. Pada
neurosifilis, juga diberikan pengobatan yang sama, tetapi dosis tinggi
penisilin intravena kadang direkomendasikan. Antibiotic lainnya, misalnya,
tetrasiklin atau eritromisin, kadang – kadang dapat diberikan. Pengobatan
gonorhoe diduga dapat menyembuhkan sifilis yang sedang berada dalam masa
inkubasi. Tidak lanjut jangka panjang juga diperlukan. Pada neurosifilis, treponema
kadang – kadang dapat bertahan terhadap pengobatan tersebut. Kekambuhan
neurologic yang parah pada sifilis yang sudah diobati terjadi pada penderita acquired immunodeficiency syndrome (AIDS)
yang etrinfeksi oleh HIV dan T pallidum.
Reaksi khas Jarisch-Herxheimer dapat muncul dalam beberapa jam setelah
dimulainya pengobatan. Hal ini terjadi pelepasan produk toksin dari spiroketa
yang hamper mati atau telah mati (Jawetz, Melnick, dan Adelberg, 2007).
Pada pemberian pengobatan dengan logam berat atau penisilin
sebagai penderita menunjukkan adanya reaksi Jarish-Herxheimer
dengan tanda – tanda:
ð Penderita mengalami febris, suhu
badan 38oC atau lebih, sakit kepala, malaise.
Reaksi ini seiring dijumpai pada sifilis primer atau
penyakit pada stadium dini dan terjadinya dalam waktu 2 – 12 jam setelah
terjadinya pengobatan. Terjadinya reaksi ini diduga akibat banyaknya bakteri
yang mati setelah pemberian obat (Tim Mikrobiologi, 2003).
14. Follow-up
dan pengobatan ulang
Semua penderita sifilis dini dan sifilis kongenita harus
menjalani uji nontreponemal kuantitatif serial pada bulan ke-3, ke-6, dan
ke-12. Semua penderita sifilis sekunder atau sifilis yang lamanya di atas 1
tahun, juga harus menjalani ulangan uji nontreponemal kuantitatif 24 bulan
setelah pengobatan. Pemeriksaan cairan serebrospinal juga wajib dilakukan pada
semua penderita, khususnya bila mereka diobati dengan benzatin penisilin. Semua
penderita dengan neurosifils yang terdokumentasi, harus diikuti secara cermat
dengan uji serologic dan pemeriksaan cairan serebrospinal selama sedikitnya 5
tahun, kecuali parameter tersebut menjadi normal, termasuk produksi local
antibody pada cairan serebrospinal.
Pengobatan
ulang harus dipertimbangkan bila :
a) Tanda dan gejala klinik sifilis
menetap atau kambuh,
b) Terdapat kenaikan kadar titer uji
nontreponemal, dan
c) Bila uji RPR tetap positif selama 12
bulan pada sifilis promer, 24 bulan pada sifilis sekunder, dan 5 tahun pada
sifilis lanjut.
(Sylvia Y. Muliawan, 2008).
15. Imunitas
Seseorang dengan sifilis atau framboesia aktif dan laten
tampaknnya resisten terhadap superinfeksi dengan Treponema pallidum. Akan tetapi, bila sifilis atau framboesia
stadium dini diobati secara adekuat dan infeksinya dapat dihilangkan, individu
tersebut kembali menjadi rentan sepenuhnya. Berbagai respons imun biasanya
gagal untuk membasmi infeksi atau menghentikan perjalanan penyakitnya.
( TAHUN ? )Magnuson dan teman-teman berhasil membuktikan
pada sukarelawan bahwa timbul imunitas tehadap reinfeksi. Akan tetapi, imunitas
yang timbul tampaknya tidak bersifat mutlak karena akan menjadi solid bila
infeksinya semalin lama tidak diobati. Antibody humoral hanya bersifat
protektif untuk sebagian kasus, karena infeksi eksperimrntal dapat ditimbulkan
pada manusia dan kelinci meskipun terdapat antibody tersebut.
Orang yang terinfeksi HIV yang mengalami disregulasi dan
penurunan status imunitas selular secara progresif cenderung mengalami penyakit
yang lebih berat. Demikian pula, orang yang malnutrisi dan juga mempunyai deficit
fungsi imunitas selular cenderung mengalami penyakit sifilis yang lebih berat
(Sylvia Y. Muliawan, 2008).
16. Pencegahan
dan pengendalian
Sifilis ditularkan melalui pajanan seksual, kecuali sifilis
kongenital dan pajanan okupasional yang jarang terhadap petugs kesehatan.
Reinfeksi pada orang yang sudah diobati bisa terjadi. Oarng yang terinfeksi
tetap dapat menularkan selama 3-5 tahun selama sifilis “dini”. Sifilis stadium
“lanjut”, dengan durasi lebih dari 5 tahun, biasanya tidak menular (Jawetz,
Melnick, dan Adelberg, 2007).
Akibatnya, ukuran untuk pengendalian tergantung pada :
a) Pengobatan segera dan adekuat pada
semua kasus yang ditemukan;
b) Monitoring terhadap sumber infeksi
dan kontak sehingga mereka dapat diobati;
c) Penyuluhan atau edukasi penyakit
yang ditularkan melalui hubungan seks, termasuk kegunaan kondom dan hygiene
seks;
d) Profilaksis pada saat kontak;
e) Uji penapisan pada semua individu
yang terinfeksi HIV dan wanita hamil merupakan bagian dari program kesehatan
masyarakat;
f) Pengobatan pasangan seks dan
secara epidemik.
(Sylvia
Y. Muliawan, 2008).
Beberapa penyakit menular seksual dapat ditularkan secara
bersamaan. Oleh sebab itu, perlu dipikirkan kemungkinan sifilis pada setiap
orang yang terkena penyakit menular seksual (Jawetz, Melnick, dan
Adelberg, 2007).
0 komentar:
Posting Komentar