Sabtu, 09 Maret 2013

Treponema pallidum


PENDAHULUAN

 Treponema pallidum merupakan bakteri batang berkuran panjang, ramping, berbentuk lengkung heliks, spiral atau bentuk alat pembuka tutup botol (corkscrew), bersifat gram negative. Treponema pallidum mempunyai selubung luar atau lapisan glikosaminoglikan. Di dalam selubung luar terdapat membrane luar, yang mengandung peptidoglikan  dan yang mempertahankan integritas struktur organisme.
Treponema pallidum merupakan bakteri berbentuk spiral yang merupakan penyebab penyakit
sifilis. Penyakit ini primer menyerang manusia dan penularannya terjadi melalui kontak seksual serta menyebar dari satu manusia ke manusia lain. Di Eropa, lebih dikenal dengan nama Italian disease, French disease atau the greatpox yang harus dibedakan dengan smallpox. Menurut John Hunter (1767) dan Ricord (1838), penyakit sifilis merupakan penyakit yang infeksius.
Sifilis dapat menyerang seluruh organ tubuh. Perjalanan penyakit dapat mengalami masa laten tanpa manifestasi klinis, dan menjadi sumber penularan di masyarakat khususnya wanita penjaja seks (WPS). Penyakit ini dapat ditularkan kepada bayi di dalam kandungan, dan menyebabkan keguguran, kelahiran prematur, kecacatan, serta lahir mati. Sifilis yang tidak diterapi dapat menjadi sifilis lanjut, yaitu sifilis tersier benigna (gumma), sifilis kardiovaskuler, dan neurosifilis. Selain itu sifilis juga dapat menyebabkan terjadinya ulkus yang meningkatkan risiko penularan human immunodeficiency virus (HIV) sebesar 2-9 kali. Eliminasi sifilis menjadi sangat penting, tidak hanya untuk pencegahan sifilis lanjut, tetapi juga mencegah penularan dan progresivitas HIV.
World health organization (WHO) memperkirakan di seluruh dunia ditemukan sekitar 12 juta kasus  baru sifilis setiap tahunnya, antara lain di Asia Selatan dan Tenggara sebanyak 4 juta kasus, Afrika sub-Sahara sebanyak 4 juta kasus, serta Amerika Latin dan Karibia sebanyak 3 juta kasus.2 Penelitian Departemen Kesehatan (DepKes) terhadap WPS di 7 kota besar di Indonesia pada tahun 2003 dan 2005 mendapatkan rerata prevalensi sifilis masing-masing sebesar 11%5 dan 8,7%6. Mengingat banyaknya kasus sifilis laten tanpa gejala (98,6%) dan tanpa tanda (99%), maka sebagian besar WPS tidak akan mencari pengobatan, dengan demikian rantai penularan akan terus berlanjut dan penyakit semakin berkembang dalam tubuh.
Angka infektifitas terkait dengan golongan umur seksual aktif, yaitu tertinggi pada golongan usia 20-24 tahun, kemudian sedikit berkurang pada golongan usia 19 tahun, dan lebih rendah pada golongan usia 25-29 tahun.
Pada akhir tahun 1940-an ternyata penisilin aktif dalam membasmi sifilis pada setiap stadium kliniknya, baik pada infeksi laten maupun pada infeksi kongenital.
Puncak insidensi sifilis terlihat pada tahun 1946-1947. Jumlah kasus secara progresif berkurang hingga tahun 1958, kemudian kecenderungan tersebut berbalik dan terjadi peningkatan yang menetap. Insidensi manifestasi lanjut telah sangat menurun, kemungkinan akibat penggunaan penisilin dan antibiotika sejenisnya untuk mengobati berbagai penyakit nonsifilitik lainnya.
Selain Treponema pallidum bakteri lain yang menyebabkan infeksi penyakit menular seksual adalah Neisseria gonorrhoeae. Nama lain dari Neisseria gonorrhoeae adalah Micrococcus gonorrhoeae atau Diplococcus gonorrhoeae atau gonokokus. Bakteri ini menyebabkan penyakit gonorrhoe atau kencing nanah. Penyakit ini merupakan penyakit kelamin yang sering terjadi dan manusia merupakan satu-satunya hospes alamiah.
Istilah gonorrhoe mula-mula diperkenalkan oleh Galen pada 130 tahun Sebelum Masehi. Penyakit ini sudah dikenal orang sejak zaman Tiongkok Purba dan Mesir Purba.
Pada tahun 1874, Neisser menemukan penyabab penyakit ini dari secret purulent dari urethra seorang yang menderita urethritis akut, vaginitis dan pada secret mata penderita konjungtivitis akut. Pada tahun 1885, Bumm berhasil membiakkan kultur murni kuman ini dan berhasil menularkan penyakit ini dengan jalan menginokulasikannya pada sukarelawan.
Penyebaran & Penularan Gonorrhea telah menyebar ke seluruh  dunia. Di Amerika Serikat, tingkat  kejadiannya meningkat secara cepat dari tahun 1955 hingga akhir 1970 dengan 400 hingga 500 kasus per 100 ribu populasi. Berikutnya berhubungan dengan epidemi AIDS dan perkembangan penerapan seks yang aman, insiden telah menurun mendekati 100 kasus tiap 100 ribu populasi. Di Indonesia, infeksi gonorrhoe menempati urutan yang tertinggi dari semua jenis PMS. Beberapa penelitian di Surabaya, Jakarta, dan Bandung terhadap WPS menunjukkan bahwa prevalensi gonorrhoe berkisar antara 7,4%-50%.
Gonorrhea yang secara khusus ditularkan melalui hubungan seksual, kebanyakan merupakan infeksi yang tanpa gejala. Tingkat infeksi dari organisme, yang dilihat dari kemungkinan seseorang untuk mendapat infeksi  dari pasangan seksualnya yang telah terinfeksi, mencapai 20 - 30% pada pria dan lebih besar lagi pada wanita. Tingkat infeksi dapat dikurangi dengan menghindari berganti-ganti pasangan, pemberanrasan gonorrhoe dari individu yang terinfeksi (yang dapat dilakukan dengan diagnosa dini dan pengobatan), serta temuan kasus-kasus  dan kontak-kontak melalui penyuluhan dan penyaringan populasi yang beresiko tinggi. Mekanisme  profilaksis (kondom) dapat menjadi perlindungan yang parsial.












BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.    Treponema pallidum
1.      Klasifikasi
Kingdom : Eubacteria
Phylum   : Spirochaetes
Class  : Spirochaetes
Ordo  : Spirochaetales
Familia : Treponemataceae
Genus  : Treponema
Spesies : Treponema pallidum

2.      Morfologi dan pewarnaan
Treponema pallidum berbentuk spiral yang ramping dengan lebar kira-kira 0,2 μm dan panjang 5-15 μm. Lengkung spiralnya secara teratur terpisah satu dengan lainnya dengan jarak 1 μm. Treponema pallidum bergerak aktif, berotasi dengan cepat disekitar endoflagelnya bahkan setelah menempel pada sel melalui ujungnya yang lancip. Aksis panjang spiral biasanya lurus tetapi kadang-kadang melingkar, yang membuat organisme tersebut kadang-kadang membentuk lingkaran penuh dan kemudian akan kembali lurus ke posisi semula (Jawetz, Melnick, dan Adelberg, 2007).
Treponema pallidum sukar diwarnai, untuk melihat morfologi bakteri ini, dapat digunakan pewarnaan khusus seperti :
ü  Pewarnaan Fontana
Tribondeau yang menggunakan perak nitrat, sebab bakteri ini dapat mereduksir perak nitrat.
ü  Pewarnaan Levaditi (silver impregnation)
Digunakan unutk mewarnai bakteri yang berada di dalam jaringan,
ü  Pewarnaan Negatif
Menggunakan tinta cina (indian ink)
ü  Pewarnaan Giemsa
Dengan mikroskop lapang pandang gelap (dark field microscope), dapat dilihat morfologi Treponema pallidum dalam keadaan hidup, disamping dapat dilihat pergerakannya. Bakteri ini juga dapat dilihat atau diidentifikasi dengan menggunakan teknik imuunofluoressens.
Treponema pallidum tidak membentuk spora, dan pada spesies yang patogen didapatkan adanya struktur seperti kapsul yang tidak didapatkan pada spesies yang non patogen (Tim Mikrobiologi, 2003).

3.      Biakan
Treponema pallidum memperbanyak diri dengan cara membelah diri secara transversal di dalam tubuh hospes maupun pada hewan coba.
Treponema pallidum yang patogen tidak dapat dibiakkan pada media buatan atau pada perbenihan jaringan ataupun embryonated egg walaupun diinkubasikan pada suasana anaerob.
Treponema pallidum yang patogen hanya dapat dibiakkan pada testis kelinci dengan waktu pembelahan (generation time) sekitar 30 jam (Tim Mikrobiologi, 2003).
Treponema pallidum yang non-patogen dapat dibiakan secara anaerob in vitro. Bakteri ini bersifat saprofit dan secara antigen berhubungan dengan Treponema pallidum. ???
(Jawetz, Melnick, dan Adelberg, 2007).



4.      Sifat pertumbuhan
Treponema pallidum adalah bakteri mikroaerofilik, bakteri ini paling baik hidup dalam lingkungan dengan kadar oksigen 1-4 %. Strain Reiter saprofitik tumbuh pada medium yang mengandung 11 asam amino, vitamin, garam, mineral, dan albumin serum.
Pada cairan suspense yang cocok dan adanya substansi pereduksi, Treponema pallidum dapat tetap bergerak selama 3-6 hari pada suhu 25°C. Pada darah lengkap atau plasma yang disimpan pada suhu 4°C, dapat bertahan hidup selama minimal 24 jam. Hal ini penting untuk transfusi darah (Jawetz, Melnick, dan Adelberg, 2007 dan Dr. Bambang Suryono, 1995).

5.      Daya tahan
Apabila Treponema pallidum tersebut kontak dengan oksigen, akan segera mati. Treponema pallidum dengan mudah dapat dimatikan dengan pemberian saponin, aquadest, sabun, salep yang mengandung Hg, dan antibiotika. Bahkan bakteri yang dibiakan pada testis kelinci dengan mudah dapat dimatikan dengan cara pemanasan. Oleh karena itu, pengobatan terhadap penderita sifils pernah dilakukan dengan cara diberi penyakit lain yang dapat menimbulkan panas tinggi misalnya penyakit malaria, atau dengan aliran listrik frekuensi tinggi. Kenapa kejam , sumber dari ??
Bakteri tersebut akan mati dalam waktu 3-4 hari bila berada dalam darah yang disimpan dalam almari es. Oleh karena itu, untuk menghilangkan kekhawatiran terjadinya penularan terhadap penyakit ini melalui darah (misalnya karena transfusi), darah dimasukkan terlebih dahulu ke dalam almari es selama 4 hari. Jadi, penularan sifilis lewat darah dapat terjadi hanya pada darah segar (fresh blood)
(Tim Mikrobiologi, 2003).

6.      Struktur
a.      Struktur Umum
Struktur bakteri Treponema pallidum identic dengan struktur Treponema secara umum, hanya kandungannya lebih jelas diketahui. Susunan Treponema pallidum (bobot kering) kira-kira adalah 70% protein, 20% lipid, dan 5% karbohidrat. Kandungan lipidnya relative tinggi untuk bakteri. Dari lipid total, 68% adalah fosfolipid (terutama fosfatidilkolin, sfingomielin, serta kardiolipin) dan 32% merupakan lipid netral (terutama kolesterol)
(Sylvia Y. Muliawan, 2008).
b.      Struktur Antigen
Treponema pallidum mempunyai hialuronidase yang memecah asam hialuronat dalam sustansi dasar jaringan dan kemungkinan meningkatkan sifat invasif bakteri tersebut. Profil protein Treponema pallidum tidak dapat dibedakan, lebih dari 100 antigen protein telah diketahui. Endoflagel terdiri dari tiga protein inti yang homolog dengan protein flagelin bakteri lain, serta protein selubung yang tidak berhubungan. Kardiolipin adalah komponen penting dari antigen Treponema pallidum (Jawetz, Melnick dan Adelberg, 2007).
Dari hasil penelitian Nelson dan Mayer pada tahun 1949, diketahui bahwa di dalam darah penderita sifilis terdapat adanya suatu jenis antibody yang dapat menghentikan pergerakan (mobilisasi) bakteri Treponema pallidum. Selanjutnya, antibody ini digunakan sebgai bahan pada tes diagnostic terhadap penyakit sifilis, yaitu tes TPI (Treponema pallidum Immobilization test). Pada tes TPI, dijumpai adanya reaksi silang antara spesies Treponema pathogen yang lain, tetapi tidak dijumpai adanya reaksi silang dengan spesies yang saprofit.
Portonoy dan magnuson pada tahun 1955 menemukan antigen yang lebih spesifik dan antigen ini merangsang pembentukan antibody yang disebut Treponema pallidum complement fixing antibody (TPCF-Ab), yang diduga merupakan suatu aglutinin dan dapat memberikan tes positif pada permulaan penyakit.
Apabila serum penderita sifilis dipisahkan secara elektroforesis, akan didapatkan :
ü  Ab reaginik yang tampak pada gama globulin fraksi lambat,
ü  TPI-Ab yang didapatkan pada gama globulin fraksi cepat, dan
ü  TPCF-Ab yang distribusinya lebih dari satu fraksi, diduga terdiri atas beberapa macam antibody aglutini.
Selain antibody-antibodi di atas, masih didapatkan antibody  lain yang disebut Fluorescent Treponemal Antibody (FTA)
(Tim Mikrobiologi, 2003).

7.      Patogenesis
Manusia merupakan hospes alami satu – satunya bagi Treponema pallidum dan infeksi terjadi melalui kontak seksual. Organisme ini menembus selaput mukosa atau memasuki kulit yang mempunyai luka kecil. Setelah berada di dalam hospes, organisme tersebut terlokalisasi pada temp;at masuknya dan mulai memperbanyak diri.
Treponema pallidum segera memasuki aliran darah dan pembuluh limfe, kemudian tersebar ke jaringan lainnya. Dengan demikian, sejak awal sifilis merupakan penyakit yang menyerang seluruh bagian tubuh. Jaringan  yang menjadi sasaran meliputi kelenjar limfe, kulit, selaput mukosa, hati, limfe, ginjal, jantung, tulang, laring, lesi awal biasanya terdapat pada labia, dinding vagina, atau pada servik; sedangkan pada pria, lesi awal terdapat pada batang penis atau glans penis. Lesi primer dapat pula terjadi pada bibir, lidah, tonsil, atau daerah kulit lainnya.
Setelah secara spesifik menambatkan diri pada sejumlah besar jaringan, Treponema pallidum mengeluarkan hialuronidase yang mengubah asam hialuronat di dalam matriks untuk mempermudah penyebarannya. Untuk dapat memasuki pembuluh darah limfe, bakteri Treponema harus merusak membrane basal yang utuh di sekitar pembuluh, kemudian berjalan ? di antara sel endotel untuk memasuki lumen. PENTING
Selain melambatkan diri, Treponema pallidum memiliki setidaknya 3 faktor firulensi yang secara parsial menetralkan respons imun. Zat glikosaminoglikan yang serupa dengan asam hialuronat bekerja sebagai factor antikomplemen. Polisakarida berantai lurus panjang ini melapisi permukaan luar organisme. Mungkin zat tersebut merupakan sejenis bahan kapsul yang dibentuk oleh organisme, atau mungkin pula zat itu hanya merupakan lapisan pasif glikosaminoglikan yang berasal dari hospes. Darimanapun asalnya, zat tersebut mengganggu daya bunuh bakteri Treponema melalui jalur komplemen klasik (tergantung antibody). Glikosaminoglikan dan asam sialat agaknya memungkinkan organisme ini menyebar di dalam aliran darah, walaupun terdapat efek merugikan dari komplemen – kompplemen tersebut.
Treponema pallidum tampaknya memiliki suatu jalur siklooksigenase yang utuh dan mampu membentuk prostaglandin E2-nya sendiri. Zat autokoid ini merupapkan imunomodulator yang ampuh. Telah dikemukakan pendapat bahwa prostagladin E2 menghambat pemrosesan imun dini dengan cara merangsang factor penting untuk eksaserbasi infeksi menuju ke stadium klinik berikutnya. ??
Dalam beberapa jam sampai beberapa hari setelah T.pallidum menembus selaput mukosa yang utuh atau masuk melalui kulit yang mengalami abrasi, bakteri ini memasuki pembuluh limfe dan aliran darah, kemudian menyebar ke seluruh tubuh. Hampir semua organ tubuh dapat diserang, termasuk susunan saraf pusat.
Dosis infeksius bervariasi antarpenderita, tetapi pada kelinci, inoculum yang hanya mengandung empat Spirochaeta dapat menimbulkan infeksi. Organisme ini membelah setiap 30 -33 jam. Lesi klinik muncul bila tercapai kadar sekitar 107 organisme per gram jaringan, dan masa inkubasinya berbanding lurus dengan jumlah inoculum (Sylvia Y. Muliawan, 2008).

8.      Patologi
Secara patologik, ciri khas chancre pada stadium primer adalah infiltrasi hebat yang terdiri atas sel plasma dengan sebaran histiosit, penebalan poliferatif fibroplastik pada pembuluh darah kecil, dan akhirnya endarteritis obliterans, yang selalu ada dan hampir bersifat diagnostic.
Endarteritis obliterans yang terdiri atas penebalan proliferative fibroblastic dan endothelial pada vasa vasorum dan pembuluh darah kecil meerupakan petanda histopatologik sifilis kardiovaskular dan neurosifilis meningovaskular. Perubahan patologik ini ditemukan pada semua stadium sifilis. Pada chancre primer dapat pula terlihat leukosit polimorfonuklear dan makrofag yang sedang memakan treponema. Hyperkeratosis ( gambar ? ) seringkali ditemukan pada lesi kulit sifilis sekunder dan khususnya nyata pada kondilomata.
Sifilis merupakan penyakit granulomatosa menahun yang ditandai dengan terbentuknya guma ( gambar ? ) yang terdiri atas begian nekrotik dan sentral koagulatif serta endarteritis obliterans pada pembuluh darah kecil. Hal ini terdapat di mana saja pada bagian tubuh (Sylvia Y. Muliawan, 2008).

9.      Manifestasi klinik
Sifilis merupakan penyakit sistemik kompleks dengan berbagai manifestasi klinik yang disebabkan oleh Treponema pallidum. penyakit ini paling sering ditularkan melalui kontak seksual, dan berbeda dengan penyakit infeksi lainnya. Sifilis jarang didiagnosa dengan mengisolasi dan mengenali organisme penyebabnya. Diagnose ditegakkan dengan metode yang kurang peka, yaitu pemeriksaan mikroskop lapangan gelap direct, dan berdasarrkan temuan klinik serologic, dan epidemiologic.
Manifestasi klinik sifilis bersifat kompleks dan sangat difus ??, serta periode timbulnya masing – masing stadium sangat berbeda – beda. Pada saat jumlah bakteri Treponema meningkat, timbul manifestasi klinik dan apabila jumlahnya berkurang sebagai akibat respon hospes yang efektif, maka terjadi periode asimtomatic. Manifestasi klinik yang paling menonjol pada infeksi sifilis adalah terkenanya daerah perivascular di sekitar arteriol dan kapiler. Periarteritis ( yaitu proliferasi sel adventitia dan adanya cuffing) endarteritis ( adalah pembengkakan dan proliferasi sel endotel yang mengakibatkan penyempitan lumen), dan infiltrasi limfosit serta sel plasma merupakan ciri khas histopatologi sifilis. Treponema pallidum tampaknya tidak menghasilkan toksin, dan ada pendappat yang menyatakan bahwa setidaknya sebagian dari gambaran histopatologi diakibattkan oleh aktivasi pertahanan tubuh hospes.
Pada sekitar 30% kasus, infeksi sifilis dini sembuh total secara spontan tanpa pengobatan. Pada 30% kasus lainnya, infeksi yang tidak diobati menjadi laten (diketahui dengan uji serologic yang positif). Pada sisa kasus, penyakit berlajut ke stadium tersier, yang ditandai dengan pembentukan lesi granulomatosa (guma) pada kulit, tulang, dan hati; perubahan degeratif pada susunan saraf pusat (sisilis meningovaskuler, paresis, tabes); atau lesi kardiovaskuler (aortitis, aneurisma aorta, insufiensi katup aorta). Pada semua lesi tersier, jarang ditemukan bakteri Treponema, dan reaksi tubuh yang berlebihan harus dianggap akibat hipersensitivitas terhadap organisme tersebut. Akan tetapi, pada sifilis stadium lanjut, sesekali dapat ditemukan bakteri Treponema di dalam mata atau susunan saraf pusat. Sifilis lanjut mengacu pada penyakit tersier yang secara klinik nyata atau tidak nyata, yang timbul pada sepertiga penderita yang tidak diobati. Sebagian besar lesi tersebut mengenai vasa vasorum aorta dan/atau arteri pada susunan saraf pusat; sisanya terutama terdiri atas guma. Kulit, hati, tulang, dan limpa merupakan lokasi guma yang paling sering. Pembagian sifilis berdasarkan manifestasi klinik :
ü  Masa inkubasi yang berlangsung sekitar 3 minggu;
ü  Stadium primer yang ditandai oleh lesi kulit yang tidak nyeri (chancre) yang terkait dengan limfadenopati regional dak bacteremia dini;
ü  Stadium bacteremia sekunder atau stadium diseminata yang disertai lesi mukokutan dan limfadenopati umum;
ü  Masa infeksi subklinis (sifilis laten) yang hanya terdeteksi dengan uji serologik; dan
ü  Pada sejumlah kecil penderita, stadium lanjut atau tersier yang ditandai oleh penyakit yang progresif dan dapat mengenai hampis setiap organ tubuh, teutama aorta asendens dan/atau susunan saraf pusat.
(Sylvia Y. Muliawan, 2008).

10.  Bentuk klinis
Penularan sifilis pada manusia terjadi secara kontak langsung yaitu melalui hubungan kelamin (sexual intercourse). Bakteri Treponema pallidum masuk ke dalam tubuh hospes dengan menembus lapisanmukosa yang utuh (intact), atau melalui lesi pada kulit. Pada infeksi sifilis ini, sekitar 95% lesi didapatkan pada genitalia, sedangkan 5% selebihnya bisa didapatkan ektragenital, misalnya pada bibir atau papilla mammae.
Waktu infeksi penyakit ini 10-90 hari, rata-rata 3 minggu. Setelah masuk ke dalam tubuh, bakteri berkembang biak pada tempat dimana bakteri masuk (portal of entry), kemudian menyebar ke dalam kelenjar getah beningregionla dan selanjutnya memasuki perdedaran darah serta menyebar ke seluruh tubuh. Selang beberapa waktu, pada kulit, dijumpai adanya
Kenapa agak beda dengan pathogenesis ???kelainan yang disebut ulcus durum atau hard cnancre (Hunterian chancre) yan gmempunyai tanda-tanda :
ü  Tidak nyeri,
ü  Dasarnya keras,
ü  Merupakan lesi tunggal,
ü  Permukaannya bersih,
ü  Tepi meninggi,
ü  Didapatkan sel-sel radang seperti limfosit dan sel plasma, dan
ü  Warnanya kemerahan.
(Tim Mikrobiologi, 2003).
a.      Sifilis primer (Lues I)
Lokalisasi dari lesi primer didapatkan pada daerah genitalia; pada laki-laki didapatkan disekitar corona glandis dan urethra, sedang pada wanita lesi primer ini didapatkan pada labia, perineum, dinding vagina atau pada serviks uteri. Di sekitar lesi primer akan didapatkan pembesaran kelenjar limfe regional yang tidak nyeri.
Kelainan klinis pada lues I berupa ulkus durum. Adanya bakteri Treponema pallidum pada sifilis primer ini dapat diperlihatkan pada bahan pemeriksaan dari penderita yang belum diberi pengobatan. Bakteri dapat ditemuakan pada lesi local dalam waktu 6-24 jam. Semasa waktu inkubasi dan satu hari setelah timbulnya lesi primer, antibody masih belum terbentuk dan adanya antibody baru dapat dideteksi 30 hari  setelah timbulnya lesi primer. Lesi primer pada lues I ini dapat sembuh sendiri dalam waktu 10-40 hari tanpa diberi pengobatan.
(Tim Mikrobiologi, 2003).



b.      Sifilis sekunder (Lues II)
Sifilis sekunder timbul dalam waktu 2-10 minggu setelah lesi primer sembuh, rata-rata sekitar 3 bulan.
Kelainan yang timbul pada kulit dan mukosa berupa lesi-lesi yang sangat infeksius, dengan ciri-ciri :
ü  Rash makulo popular di seluruh tubuh, terutama pada tempat-tempat yang basah seperti : aksila mulut, genitalia, dan anus. Pada tempat-tempat yang lembab tersebut juga timbul kelainan yang disebut condylomata lata;
ü  Gejala-gejala lain yang timbul dapat berupa febris, sakit kepala, sakit pada tenggorokan, limfadenopathi umum, dan mungkin pula disertai kelainan pada ginjal, arthritis dan athralgia.
Lesi sekunder akan hilang dalm waktu 3-12 bulan kemudian timbul dan menghilang berulang-ulang selama sekitar 4-5 tahun. Tes serologis pada sifilis sekunder memberikan hasil positif.
(Tim Mikrobiologi, 2003).
c.       Sifilis tersier (Lues III)
Sekitar 3-10 tahun setelah sifilis sekunder, pada penderita akan ditemukan adanya lesi granulomatous yang disebut gumma. Kelainan ini sifatnya local daan ditemukan pada kulit, tulang, dan hepar. Terbentuknya gumma ini kemungkinan sebagai akibat dari reaksi hipersensitif tipe lambat terhadap bakteri Treponema, walaupun mekanismenya yang jelas belum diketahui.
Lues III disebut juga late latent syphilis. Lues III memberikan hasil positif sekita 60-70% terhadap tes-tes serologis terhaadap sifilis. Hasil tes serologis terhadap cairan spinal dapet positif, meskipun untuk serum memberikan hasil yang negative.
Manifestasi klinis dari sifilis tersier antara lain, berupa :
ü  Sifilis kardiovaskuler,
ü  Neurosifilis,
ü  Sifilis kongenital.

v  Sifilis kardiovaskuler
Umumnya, 10-40 tahun setelah sifilis primer pada penderita yang tidak diberi pengobatan akan timbul sifilis kardiovaskuler. Dalam hal ini, biasanya yang terserang adalah pembuluh-pembuluh darah besar pada jantung, misalnya aorta. Akibat keradangan yang terjadi, menyebabkan aneurisma pada aorta atau kelainan klep dari aorta, sehingga akan terjadi insufficiency jantung.
v  Neurosifilis
Setelah terjadinya lesi primer, sekitar sepertiga dari penderita sifilis akan mengalami keradangan pada susunan saraf pusat. Namun demikian, hanya separuh dari penderita yang mengalami keradangan pada susunan saraf pusat tersebut yang mengalami neurosifilis, yaitu terutama pada penderita-penderita yang tidak diobati.
Waktu timbulnya neurosifilis ini, berkisar 5 tahun setelah terjadinya sifilis primer. Manifestasi klinisnya antara lain berupa :
§  Tabes dorsalis,
§  Dementia paralytica,
§  Amyotropic lateralis,
§  Seizures,
§  Optic atrophy, dan
§  Gumma pada medulla spinalis.
PAHAMI ARTINYA


v  Sifilis kongenital
Bentuk klinis yang lain dari penyakit sifilis adalah sifilis kongenital. Sifilis kongenital ini timbul karena bakteri Treponema pallidum dapat menmbus plasenta dan akan menyebabkan bacteremia pada fetus (Tim Mikrobiologi, 2003).
Seorang wanita hamil dengan sifilis dapat menularkan Treponema pallidum ke fetusnya melalui plasenta dimulai pada minggu ke-10 sampai minggu ke-15 usia kehamilan. Beberapa fetus yang terinfeksi meninggal dunia dan menimbulkan keguguran, yang lainnya masih dapat lahir aterm (Jawetz, Melnick, dan Adelberg, 2007). TIPE PENULARAN TRANSPLASENTA
Angka kematian dari sifilis kongenital berkisar sekitar 25% dan kesembuhan yang disertai kelainan kongenital sekitar 40%.
Keguguran kandungan (abortus) oleh karena sifilis kongenital biasanya terjadi pada trimester ke-16 kehamilan karena, pada saat itu, lapisan Langerhans khorion mengalami atropi. Selain menyebabkan abortus, penyakit ini juga merupakan penyebab tersering dari bayi lahir mati (still birth). Bila infeksinya terjadi pada trimester terakhir kehamilan, bayi yang lahir akan disertai kelainan- kelainan. Kelainan-kelainan tersebut dapat langsung terlihat, berupa lesi pada kulit atau selaput lender atau berupa gejala kuning (jaundice), hepato-splenomegali, dan anemia hemolitik. Namun demikian, ada kelainan yang baru terlihat setelah anak agaak besar, berupa :
ü  Trias dari Huthchinson, yaitu : kelainana gigi, keratitis interstitialis, dan gangguan pada N.VIII (nerve deafness),
ü  Saddle nose,
ü  Kelainan pada tulang tibia (sabre shin), dan
ü  Mulberry molar (Tim Mikrobiologi, 2003).
ü  GAMBAR ???

Pada infeksi kongenital, anak akan membuat antibody IgM antitreponema (Jawetz, Melnick, dan Adelberg, 2007).

11.  Specimen
Specimen yang digunakan dapat berasal dari cairan jaringan yang diambil dari lesi superfisial dini untuk memperlihatkan adanya bakteri Spirochaeta, sedangkan serum digunakan untuk uji serologik. Kadang dapat diperlihatkan adanya Spirochaeta dari bahan biopsi. Dari bahan tersebut yang paling umum dilakukan adalah denggan pewarnaan perak (Levaditi), tetapi penampakan bakteri mungkin dapat dikacaukan dengan jaringan elastis. Oleh karena itu, pewarnaan immunofluoresensi atau imunoperoksidase yang spesifik pada specimen patologi yang tidak dibekukan lebih disukai dibandingkan dengan pewarnaan perak (Jawetz, Melnick, dan Adelberg, 2007 dan Sylvia Y. Muliawan, 2008 ).

12.  Diagnose laboratorium
Diagnosa penyakit sifilis secara pasti dipersulit karena Treponema pallidum belum dapat dibiakan secara in vitro. Manifestasi klinik, demonstrasi bakteri Treponema pada bahan lesi, dan reaksi serologi digunakan untuk mendiagnosis. Pada sebagian besar kasus, manifestasi klinik sudah cukup khas. Bila manifestasi tersebut mencakup lesi eksufdatif, harus dapat ditemukan bakteri Treponema di dalam bahan lesi. Mikroskopis lapangan gelap digunakan untuk memvisualisasikan organisme motil dan nonmotil.
( Sylvia Y. Muliawan, 2008 ).

TES SEROLOGI UNTUK SIFILIS
(Serologic Test for Syphilis / STS)
Uji serologic dalam diagnosis, terutama pada kasus dengan mnaifestasi klinik yang membingungkan atau bila tidak terdapat bahan eksudat. Sela bertahun-tahun telah dikembangkan berbagai uji selorogik, yang terbagi dalam dua kelompok umu, yaitu :
1.      Uji nontreponemal
Mengukur kadar antibodi Wassermann, yang timbul sebagai respon terhadap kardiolipin, kemungkinan berasal dari jaringan hospes.
2.      Uji treponemal
Mengukur kadar antibody yang timbul sebagai respon terhadap komponen antigenic Treponema pallidum. Uji antobodi spesifik kemungkinannya tinggi apabila ada infeksi treponemal pada saat ini maupun pada waktu lampau.
( Sylvia Y. Muliawan, 2008 ).

v  Uji nontreponemal
Tes nontreponemal merupakan tes pertama yang dikerjakan untuk menegakkan diagnosis secara serologis atau disebut original test. Tes ini mula-mula dikerjakan oleh Wassermann. Tujuan tes nontreponemal untuk mencari adanya antibody reagenik yang ada pada penderita ( Tim Mikrobiologi, 2003).
a.       Uji fiksasi komplemen (complement fixation, CF)
Uji ini antara lain meliputi uji Wassermann-Kolmer, yang merupakan uji fiksasi komplemen berdasarkan fakta bahwa serum yang mengandung reagen mampu memfiksasi komplemen bila terdapat antigen kardiolipin. Harus dipastikan bahwa serum tersebut tidak bersifat antikomplemen (artinya, tidak merusak komplemen tanpa adanya antigen) ( Sylvia Y. Muliawan, 2008 ).




b.      Uji flokulasi
Uji ini berdasarkan fakta bahwa pertikel antigen lipid (kardiolipin yang berasal dari jantung sapi) akan tetap terdispersi dalam serum normal, tetapi akan membentuk gumpalan yang tampak bila berikatan dengan reagin. Hasil uji akan tampak dalam beberapa menit saja, terutama bila suspensinya dikocok. Uji tersebut cocok untuk diotomatisasikan dan digunakan pada survey, karena biayanya ringan. Uji VDRL atau RPR yang positif akan kembali negative dalam 6-18 bulan setelah pengobatan sifilis yang efektif ( Sylvia Y. Muliawan, 2008 ).
Tes flokulasi yang lain selain VDRL dan RPR, adalah tes dari Hinton, Kleine, Mazini, dan tes dari Kahn.
Kerugian dari tes nontreponemal adalah dijumpai adanya reaksi positif palsu, misalnya karena adanya penyakit-panyakit : malaria, lepra, demam bolak-balik, demam tifoid, campak, cacar, dan lain-lain (Tim Mikrobiologi, 2003)

v  Uji treponemal
a.    Treponema pallidum Immobilization test / TPI
         Dasar dari tes ini bahwa terdapat antibody pada penderita yang mempunyai kemampuan untuk menghentikan pergerakan dari bakteri treponema yang masih hidup. Sebagai antigen, digunakan bakteri Treponema pallidum yang masih hidup (diambil dari lesi penderita atau bakteri yang dibiakkan pada testis kelinci) (Tim Mikrobiologi, 2003).
         Uji ini memperlihatkan imobilisasi Treponema pallidum oleh antibody spesifik pada serum penderita setelah minggu ke-2 infeksi. Pengenceran serum dilakukan dengan cara dicampur dengan komplemen dan Treponema pallidum yang bergerak aktif, yang diekstraksi dari chancre testis seekor kelinci, kemudian campuran tersebut diamati di bawah mikroskop. Bila terdapat antibody spesifik, Spirochaeta tidak bergerak aktif lagi (pada serum normal bakteri ini tetap bergerak aktif). Uji ini membutuhkan bakteri Treponema  hidup yang berasal dari hewan yang terinfeksi dan hal ini sulit untuk dilaksanakan, masa kini jarang dilakukan (Sylvia Y. Muliawan, 2008).
         Tes ini sangat mahal dan sukar, juga memberikan hasil yang positif terhadap penyakit-penyakit yang non-veneral seperti: yaws, bejel, dan pinta (Tim Mikrobiologi, 2003).

b.   Reiter Complement Fixation Test
         Selain tes serologi diatas, dikenal pula tes serologis lain yang disebut Reiter Protein Complement Fixation. Pada tes serologi ini, dipakai antigen yang berasal dari ekstrak dari treponema yang avirulen yang disebut galur Reiter, yang dapat dibiakkan secara in vitro.
Kelemahan dari tes ini antara lain :
ü  Pada stadium lanjut dari penyakit sifilis, justru sering memberikan hasil yang negatif;
ü  Terjadi reaksi silang dengan bakteri treponema yang merupakan flora normal pada mulut (T.microdentium dan T.macrodentium).
(Tim Mikrobiologi, 2003)

c.    Fluorescent Antibody Technique (FAT)
         Diagnosis terhadap infeksi oleh Treponema pallidum juga dapat dilakukan dengan teknik imunofluoresens. Untuk cara ini, dipakai antigen dari bakteri treponema galur Nichol. Cara imunofluoresens ini digunakan untuk diagnosis sifilis kongenital, dan untuk menegakkan diagnosis terhadap late syphilis. Dalam hal ini, antibody yang diperiksa dilabel dengan anti-human gamma globulin dan zat fluoresenin-isothiosianat kemudian dilihat di bawah mikroskop fluoresens. Tes ini sangat sensitive dan hasilnya dapat dipercaya. Sensitivitas dari tes ini adalah 85% pada sifilis stadium I, 100% stadium II, dan 98% pada stadium III (Tim Mikrobiologi, 2003).
         Uji ini menggunakan imunofluoresensi indirect ( Treponema pallidum yang dimatikan + serum penderita + anti-gammaglobilin manusia yang berlabel ), dan menunjukkan spesifisitas dan sensitifitas yang sangat baik untuk antibody sifilitik, bila serum penderita telah diabsorbsi oleh Spirochaeta galur Reiter yang disonifikasi sebelum dilakukan uji FTA (Sylvia Y. Muliawan, 2008).
         FAT adalah tes yang mahal dan membutuhkan waktu yang lama sehingga tidak direkomendasikan untuk tes uji saring (screening). Tes ini digunakan untuk konfirmasi tes nontreponemal yang positif dan untuk diagnose sifilis stadium lambat dimana tes nontreponemal sering memberikan hasil negatif palsu (Tim Mikrobiologi, 2003).

d.   Treponema pallidum hemaglutination (TPHA) test
         Treponema diabsorbsikan pada permukaan sel darah merah. Jika dicampur dengan serum yang mengandung antibody antitreponemal, sel-sel tersebut akan menggumpal. Tes ini mirip dengan FTA dalam hal sensitivitas, tetapi memberikan hasil positif lebih lambat dari perjalanan infeksinya (Tim Mikrobiologi, 2003).


v  Reaksi positif palsu (Biological false positif / BFP )
Hasil reaksi positif palsu akut atau sementara pada uji reaginik nontreponemal mungkin terjadi bila terdapat rangsangan imunologik yang kuat (contohnya pada infeksi akut yang dissebabkan oleh bakteri, pneumonia, hepatitis, penyakit-penyakit virus yang memberikan rash kulit, atau pada vaksinasi). Hasil pemeriksaan yang tetap positif selama berbulan-bulan terjadi pada orang yang mengalami ketergantungan obat (narkotika) pada penyakit autoimun atau penyakit jaringan ikat (kolagen), khususnya lupus eritematosus sistemik, juga pada usia lanjut (sampai 10% orang berusia di atas 70 tahun) atau pada keadaan hipergamaglobulinemia. Sedangkan pemeriksaan yang memberikan hasil positif palsu pada uji reginik nontreponemal cenderung berkaitan dengan factor serum lainnya yang seringkali berhubungan dengan penyakit autoimun, misalnya antibody antinuclear, antitiroid, atau antimitokondria, factor rheumatoid, dan krioglobulin (cryoglobulin).
Pemeriksaan yang memberikan hasil positif palsu pada uji reginik nontreponemal biasanya dapat diverifikasi dan adanya sifilis dapat disingkirkan dengan cara mendapatkan hasil negative pada uji antibodi treponemal spesifik (misalnya dengan FTA-abs, TPHA). Sayangnya, kadang-kadang penyakit yang sama dapat memperlihatkan reaksi silang yang artinya memberikan hasil positif palsu pada ujii reaginik nontreponemal, dapat pula memberikan hasil positif palsu pada uji reaginik nontreponemal, dapat pula memberikan hasil uji FTA-abs yang positif atau positif meragukan (borderline positive). Demikian pula FTA-abs dapat memberikan hasil positif ketika hasil pemeriksaan VDRL menunjukkan negative.
Penyakit Spirochaeta lainnya seperti demam relaps (disebabkan oleh Borrelia sp) atau framboesia, pinta, leptospirosis, rat-bite fever (Spirillum minor) juga akan menghasilkan uji nontreponemal atau uji treponemal yang positif. Borrelia burgdorferi (penyakit Lyme) memberikan reaksi reaginik nontreponemal (VDRL) yang positif (Sylvia Y. Muliawan, 2008).

13.  Pengobatan
Penisilin dengan konsentrasi 0,003 unit/ml mempunyai aktifitas treponemisidal yang jelas, dan penisilin adalah pengobatan pilihannya. Sifilis dengan durasi kurang dari 1 tahun diobati dengan injeksi tunggal benzatin penisilin G secara intramuscular. Pada sifilis stadium lebih yang lebih lanjut/ laten, benzatin penisilin G secara intramuscular diberikan 3 kali dengan interval 1 minggu. Pada neurosifilis, juga diberikan pengobatan yang sama, tetapi dosis tinggi penisilin intravena kadang satu minggu. Pada neurosifilis, juga diberikan pengobatan yang sama, tetapi dosis tinggi penisilin intravena kadang direkomendasikan. Antibiotic lainnya, misalnya, tetrasiklin atau eritromisin, kadang – kadang dapat diberikan. Pengobatan gonorhoe diduga dapat menyembuhkan sifilis yang sedang berada dalam masa inkubasi. Tidak lanjut jangka panjang juga diperlukan. Pada neurosifilis, treponema kadang – kadang dapat bertahan terhadap pengobatan tersebut. Kekambuhan neurologic yang parah pada sifilis yang sudah diobati terjadi pada penderita acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) yang etrinfeksi oleh HIV dan T pallidum. Reaksi khas Jarisch-Herxheimer dapat muncul dalam beberapa jam setelah dimulainya pengobatan. Hal ini terjadi pelepasan produk toksin dari spiroketa yang hamper mati atau telah mati (Jawetz, Melnick, dan Adelberg, 2007).
Pada pemberian pengobatan dengan logam berat atau penisilin sebagai penderita menunjukkan adanya reaksi Jarish-Herxheimer dengan tanda – tanda:
ð  Penderita mengalami febris, suhu badan 38oC atau lebih, sakit kepala, malaise.
Reaksi ini seiring dijumpai pada sifilis primer atau penyakit pada stadium dini dan terjadinya dalam waktu 2 – 12 jam setelah terjadinya pengobatan. Terjadinya reaksi ini diduga akibat banyaknya bakteri yang mati setelah pemberian obat (Tim Mikrobiologi, 2003).

14.  Follow-up dan pengobatan ulang
Semua penderita sifilis dini dan sifilis kongenita harus menjalani uji nontreponemal kuantitatif serial pada bulan ke-3, ke-6, dan ke-12. Semua penderita sifilis sekunder atau sifilis yang lamanya di atas 1 tahun, juga harus menjalani ulangan uji nontreponemal kuantitatif 24 bulan setelah pengobatan. Pemeriksaan cairan serebrospinal juga wajib dilakukan pada semua penderita, khususnya bila mereka diobati dengan benzatin penisilin. Semua penderita dengan neurosifils yang terdokumentasi, harus diikuti secara cermat dengan uji serologic dan pemeriksaan cairan serebrospinal selama sedikitnya 5 tahun, kecuali parameter tersebut menjadi normal, termasuk produksi local antibody pada cairan serebrospinal.
Pengobatan ulang harus dipertimbangkan bila :
a)      Tanda dan gejala klinik sifilis menetap atau kambuh,
b)      Terdapat kenaikan kadar titer uji nontreponemal, dan
c)      Bila uji RPR tetap positif selama 12 bulan pada sifilis promer, 24 bulan pada sifilis sekunder, dan 5 tahun pada sifilis lanjut.
(Sylvia Y. Muliawan, 2008).

15.  Imunitas
Seseorang dengan sifilis atau framboesia aktif dan laten tampaknnya resisten terhadap superinfeksi dengan Treponema pallidum. Akan tetapi, bila sifilis atau framboesia stadium dini diobati secara adekuat dan infeksinya dapat dihilangkan, individu tersebut kembali menjadi rentan sepenuhnya. Berbagai respons imun biasanya gagal untuk membasmi infeksi atau menghentikan perjalanan penyakitnya.
( TAHUN ? )Magnuson dan teman-teman berhasil membuktikan pada sukarelawan bahwa timbul imunitas tehadap reinfeksi. Akan tetapi, imunitas yang timbul tampaknya tidak bersifat mutlak karena akan menjadi solid bila infeksinya semalin lama tidak diobati. Antibody humoral hanya bersifat protektif untuk sebagian kasus, karena infeksi eksperimrntal dapat ditimbulkan pada manusia dan kelinci meskipun terdapat antibody tersebut.
Orang yang terinfeksi HIV yang mengalami disregulasi dan penurunan status imunitas selular secara progresif cenderung mengalami penyakit yang lebih berat. Demikian pula, orang yang malnutrisi dan juga mempunyai deficit fungsi imunitas selular cenderung mengalami penyakit sifilis yang lebih berat (Sylvia Y. Muliawan, 2008).

16.  Pencegahan dan pengendalian
Sifilis ditularkan melalui pajanan seksual, kecuali sifilis kongenital dan pajanan okupasional yang jarang terhadap petugs kesehatan. Reinfeksi pada orang yang sudah diobati bisa terjadi. Oarng yang terinfeksi tetap dapat menularkan selama 3-5 tahun selama sifilis “dini”. Sifilis stadium “lanjut”, dengan durasi lebih dari 5 tahun, biasanya tidak menular (Jawetz, Melnick, dan Adelberg, 2007).
Akibatnya, ukuran untuk pengendalian tergantung pada :
a)      Pengobatan segera dan adekuat pada semua kasus yang ditemukan;
b)      Monitoring terhadap sumber infeksi dan kontak sehingga mereka dapat diobati;
c)      Penyuluhan atau edukasi penyakit yang ditularkan melalui hubungan seks, termasuk kegunaan kondom dan hygiene seks;
d)     Profilaksis pada saat kontak;
e)      Uji penapisan pada semua individu yang terinfeksi HIV dan wanita hamil merupakan bagian dari program kesehatan masyarakat;
f)        Pengobatan pasangan seks dan secara epidemik.
(Sylvia Y. Muliawan, 2008).
Beberapa penyakit menular seksual dapat ditularkan secara bersamaan. Oleh sebab itu, perlu dipikirkan kemungkinan sifilis pada setiap orang yang terkena penyakit menular seksual (Jawetz, Melnick, dan Adelberg, 2007).

0 komentar:

Posting Komentar