Jumat, 01 November 2013

Teknik Menulis : Show Don't Tell

Semua penulis pernah mendengar ini : Gunakan teknik 'Show, don't Tell' pada cerita, atau para pembaca tidak akan peduli. Tapi apa artinya: 'Show, not Tell'? Bagaimana kita bisa memaksa pembaca untuk merasakannya?

Jawabannya :kita tidak bisa memaksa pembaca untuk merasakan apa-apa. Kita hanya dapat menunjukkan pada mereka konteks cerita yang dapat mengeluarkan emosi pembaca.

Sebagai contoh, jika kita diberitahu bahwa Linda sedih, apakah kita tiba-tiba merasa sedih sendiri? Mimin juga meragukannya. Jika kita menulis bahwa Jimmy ketakutan, apakah jantung kita berdebar? Tentu saja tidak. Kita harus melalui semua tindakan dan tanggapan tersebut secara langsung, sebelum kita dapat merasakan apa yang mereka rasakan.

Salah satu cara untuk melihat bahwa kita belum jujur dengan emosi karakter kita adalah memeriksa pemaparan emosional yang berlebihan dalam cerita yang kita tulis. Hal tersebut merupakan indikasi bahwa kita melakukan "Tell" pada pembaca bagaimana mereka seharusnya merasakan momen tersebut, dibandingkan membiarkan pembaca mengembangkan perasaan mereka sendiri melalui tindakan dan reaksi karakter. Bila kita melihat pemaparan emosional - takut, marah, lembut, gembira, sedih, hancur dll. - tanyakan pada diri sendiri terlebih dahulu apakah itu akan lebih baik, jika kita menggantinya dengan aksi-reaksi kecil (misalnya gerakan fisik) yang dapat menciptakan konteks cerita untuk emosi tersebut.

Dengan kata lain, kesedihan tidak akan pernah menjadi nyata jika Linda (dan juga pembaca) tidak pernah menahan diri untuk tidak menangis. Ketakutan tidak akan nyata hingga jantung Jimmy berdebar kencang mendengar derit samar suara logam di belakangnya.

Kita tidak bisa memaksa emosi hanya dengan mengucapkan kata. Emosi memerlukan konteks.

Sebuah contoh :

Kita mulai dari bagian awal ini, dimana seorang pria mengambil satu-persatu apa yang menjadi sesuatu yang penting bagi mantan istrinya. Apakah ini melibatkan emosi atau terasa datar?

"Kamu benar-benar berpikir aku akan setuju dengan hal ini?" Dia tertawa. "Kamu idiot." Sengaja, ia merobek kertas perwalian itu menjadi dua.
Lynn menatapnya dalam kepiluan. Lelaki itu telah mendapatkan segalanya. Kini ia ingin mengambil putrinya.
Lelaki itu berkata lembut. "Pengadilan mana yang akan menyerahkan seorang gadis kecil pada wanita yang tidak bertanggung jawab, kehilangan pekerjaan, menghabiskan tabungannya, dan berutang pada setiap teman-temannya? Seorang wanita yang tinggal di tempat seperti ini, tempat yang hanya cocok untuk pelacur dan pecandu?" Ia merobek kertas itu berulang-ulang kali, dan dengan kepuasan, membiarkan serpihan-serpihannya jatuh ke karpet. Dia berbalik, dalam balutan setelan jahitan dan sepatu Italia-nya, ia melangkah keluar dari apartemen.
Lutut Lynn membentur lantai kayu. Dia sangat terpukul, dan air mata membutakannya.Dia bahkan tidak mendengar telepon yang mulai berdering di belakangnya.

***

Berikut ini adalah versi penulisan ulang untuk menghindari penulisan emosi dan membiarkan adegan yang menciptakan emosi bagi pembaca:

"Kamu benar-benar berpikir aku akan setuju dengan hal ini?" Dia tertawa. "Bahwa aku akan membiarkan kau mendapatkan putriku? Kau idiot." Sengaja, ia merobek kertas perwalian menjadi dua, lalu menjadi dua lagi. Tanpa mengalihkan tatapannya dari wajah panik Lynn, ia membuka jari-jemarinya dan membiarkan serpihan-serpihannya jatuh.

Lynn mendengar kata-kata lelaki itu, tapi kata-kata itu terasa tanpa arti. Apa yang dapat ia dengar hanyalah suara kertas dirobek-robek. Semua yang bisa ia lihat bagaikan sayap patah dari kontrak perwalian yang berserakan di lantai. Dua tahun, tiga pengacara, dan setiap sen yang telah ia simpan dan pinjam, lalu lelaki itu akan membawanya seperti sapi untuk disembelih. Oh Tuhan. Perutnya memilin. Oh Tuhan, Tuhan. Ia sulit bernafas.

Lelaki itu berkata lirih sambil menatapnya, "Pengadilan mana yang akan menyerahkan seorang gadis kecil tiga tahun pada seorang wanita yang begitu tidak bertanggungjawab -- kehilangan pekerjaan, menghabiskan setiap sen dari tabungannya, dan berutang pada setiap teman-temannya? Seorang wanita yang tinggal di tempat seperti ini, dengan pecandu narkoba di tangga luar dan kecoak pada karpet -- tempat sampah yang hanya cocok untuk pelacur?" Ia menatap dengan kepuasan bengis sepucat wajah Lynn. Kemudian ia berpaling dalam balutan setelan jahitan dan sepatu Italia-nya, dan melangkah keluar dari apartemen.

Sesuatu yang salah terjadi pada tubuh Lynn. Gemetar, hampir tergoncang, dan ia menatap kosong. Pintu berdentam beberapa detik sebelum ia menyadari bahwa ia sedang berusaha menangis, tetapi tidak bisa. Suara dentam pintu bagai menderu di telinganya dan sesuatu melukai tangannya; kuku-kukunya -- mencengkeram telapak tangan, dan darah mulai keluar dari bawah ujung jarinya. Ia hampir tidak merasakan sakit ketika lututnya membentur lantai kayu. Ia tidak mendengar telepon yang berbunyi di belakang.

***

Periksa bagian yang ditulis ulang. Hanya ada dua kualifikasi emosional (kata "panik" dan "kepuasan bengis") yang bekerja pada sisa adegan telah membangun sikap antagonis. Kita tidak pernah diberitahu bahwa Lynn sedih atau hancur. Sebaliknya, kita menyaksikan reaksinya. Ketika ia mencapai titik penderitaan, kita tidak perlu seseorang untuk memberitahu rasa "sedih" itu. Kita hanya perlu ada disana merasakan emosi sang tokoh.

Berapa banyak pemaparan emosional yang kita perlukan?

Kualifikasi emosional diperlukan, tapi harus digunakan dengan hati-hati. Ingatlah bahwa kekuatan cerita tidak berada dalam pernyataan emosi (takut atau kesedihan atau kemarahan). Kekuatan cerita ini merupakan proses dimana seseorang mencapai emosi itu. Semua ini datang melalui konteks cerita, bukan hanya mengatakan pada pembaca apa yang seharusnya mereka rasakan.

Apa yang disebut sebagai sebuah karya yang tulus adalah yang diberikan dengan cukup kekuatan dalam memberikan realitas pada ilusi ~ Art Poetique, Max Jacob 1876-1944

Biarkan cerita, bukan kualifikasi kata-kata emosional dari kita (lembut, gembira, marah, takut dll) membuat pembaca sepenuhnya tenggelam dan mengekspresikan emosi mereka sendiri.



Semoga tulisan kita lebih baik lagi yah!

0 komentar:

Posting Komentar